Tampilkan postingan dengan label dongeng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dongeng. Tampilkan semua postingan

Dongeng Dunia: Asal-Usul Dreamcatcher

Berdasarkan kisah suku Amerika Asli dari beberapa negara dan suku termasuk Chippewa, Mi'kmaq, dan Ojibwa.

Gambar: bluefeatherspirit.wordpress.com

Nokomis adalah seorang nenek yang sangat menyayangi cucu laki-lakinya. Tiap hari mereka berjalan-jalan melihat berbagai hal dan tertawa-tawa. Sore hari, anak laki-laki itu sering bermain di halaman sementara neneknya beristirahat di tempat tidur, menyaksikan cucunya lewat jendela.

Ketika anak itu ingin menunjukkan sesuatu pada Nokomis, dia berlari dan memanjat tempat tidur neneknya untuk melihat apakah nenek sedang tidur. Kadang Nokomis tertawa melihat apa yang dibawa anak itu padanya, dan anak itu pun merasa senang.

Suatu hari, saat menonton cucunya bermain, Nokomis mulai mengantuk oleh karena cahaya matahari yang bersinar menembus jendela. Tapi tiba-tiba Nokomis melihat sesuatu bercahaya di sudut. Dia bangkit duduk dan melihat lebih dekat. Ada laba-laba yang sedang memilin jaring dekat lantai, cahaya matahari berkerlip di jaring itu seiring Nokomis bergerak.

Si nenek tersenyum dan menyapa lembut, "Halo laba-laba. Jaringmu indah sekali." Kemudian dia bersandar lagi di tempat tidurnya. Selama sisa sore itu, nenek Nokomis menikmati menonton cucunya bermain di luar dan si laba-laba yang bekerja pelan-pelan di sudut.

Keesokan harinya, Nokomis mendapati si laba-laba masih mengerjakan jaringnya yang kini semakin besar. Dia merunduk untuk melihat. Si laba-laba berhenti memilin dan melihat kepada Nokomis.

"Kerjamu sangat bagus sekali dengan jaring ini," Nokomis berkata lembut. "Benang-benangnya berjarak seragam dan bentuknya sempurna. Terlihat kuat dan indah."

Si laba-laba melambaikan dua kaki depannya kepada Nokomis dan mulai memilin lagi. Kemudian Nokomis duduk dan menonton cucunya bermain lagi.

Sebentar kemudian, anak laki-laki itu berhenti bermain dan berlari ke dalam rumah.

"Nenek!" dia memanggil sembari berlari ke kamar neneknya. "Nenek, apa nenek tidur?"

Dia masuk ke kamar dan berhenti ketika melihat laba-laba di jaring besarnya.

"Laba-laba," anak itu berkata dan melepas sepatunya. Dia mengendap-endap ke arah jaring itu, siap merusak jalinan jaring yang indah itu dan membunuh si laba-laba.

"Jangan, tunggu!" Nokomis berseru. "Jangan sakiti dia!"

Anak itu berhenti dan melihat neneknya. "Kenapa? Itu 'kan cuma laba-laba."

"Jangan ganggu dia," Nokomis berkata. "Dia tidak menyakitimu dan jaringnya juga indah. Sini, duduk sama nenek."

Anak itu memasang kembali sepatunya dan berlari ke tempat tidur. Dia kemudian tertawa dan memanjat ke sebelah neneknya. Nokomis menggelitikinya dan mengusap kepala anak itu dengan lembut.

Mereka tidur-tiduran sebentar. Nokomis menyanyikan lagu kesukaan cucunya dan anak itu tertawa dan ikut bernyanyi. Setelah lagunya selesai, anak itu bertepuk tangan, melompat turun dan berlari ke luar rumah lagi.

Ketika kamar itu sudah sepi, si laba-laba memanjat turun dari jaringnya dan berjalan menyeberangi lantai dan naik ke tempat tidur. Nokomis bangkit dan terkejut melihat laba-laba itu.

"Terimakasih sudah menyelamatkan nyawaku," hewan itu berkata. "Aku melihat kau suka memerhatikan saat aku memilin jaringku. Aku juga dengar kau berbicara padaku dan aku tahu kau menyukai hasil karyaku. Maka dari itu aku akan memberikan sebuah hadiah untukmu."

Nokomis sulit mempercayai apa yang dia dengar. Dia duduk diam menyaksikan si laba-laba bergerak ke dinding di sebelah tempat tidurnya. Laba-laba itu kemudian merayap ke sudut dekat langit-langit dan menjalin sebuah jaring yang besar.

Malam pun tiba dan bulan bersinar di luar jendela. Laba-laba itu merayap dan memilin selama berjam-jam. Sebelum subuh tiba, dia berhenti dan jaring yang dia buat pun selesai. Nokomis berlutut di bantalnya dan mencondongkan badan untuk melihat dari dekat.

Benang-benang jaringnya dibentuk menjadi banyak lingkaran, ditahan terpisah oleh helai-helai jaring yang mengembang dari lingkaran kecil ke lingkaran terbesar di tepian jaring.

"Aku membuat ini untuk menangkap mimpi-mimpimu ketika kau tidur," kata laba-laba itu. "Mimpi baik akan melewati lubang di tengah dan melayang turun kepadamu. Mimpi buruk akan tersangkut di jaring dan hilang ketika matahari terbit. Penangkap mimpi ini adalah hadiahku untukmu."

Foto: Wikipedia.org

Catatan: sosok laba-laba dalam cerita ini merepresentasikan sosok dewi bernama Asibikaashi atau juga disebut Nenek Laba-laba. Sosok ini dipercaya bersifat melindungi dan membantu orang-orang yang membutuhkannya. Dreamcatcher atau penangkap mimpi masih digunakan hingga kini karena dipercaya dapat melindungi anak-anak kecil dan orang dewasa dari mimpi buruk.

Salah satu desain dreamcatcher tradisional. Foto: Wikipedia.org


Dongeng Dunia: Kisah Dua Serigala Yang Senantiasa Bertarung

Photo by Shelby Waltz from Pexels

Pada suatu malam, seorang pria tua suku Cherokee duduk di luar rumahnya, menikmati matahari terbenam yang indah. Suku Cherokee hidup di area hutan tenggara Amerika.

Cucu laki-lakinya kemudian berlari keluar dan terduduk lesu di sebelah kakeknya. Dia menghela nafas dengan ekspresi kemarahan di wajah anak itu.

"Kenapa?" kakeknya bertanya lembut.

Anak itu membaringkan kepalanya di bahu si kakek. "Temanku tidak mau bermain denganku hari ini. Dia pergi dengan anak-anak lain dan meninggalkanku sendiri. Aku benci padanya!"

Si kakek merangkul anak lelaki itu. "Kakek tahu perasaan kamu," dia berkata. "Selama hidup, kakek pun pernah merasakan marah dan benci karena ketidak-adilan yang kakek rasa dilakukan seseorang kepada kakek."

Dia mengusap rambut cucunya dengan lembut. "Tapi kebencian dan kemarahan cuma membuatmu lelah. Kamu tahu kenapa?" Anak lelaki itu menggeleng.

"Itu karena adalah pertempuran hebat yang terjadi di dalam diri kita semua, pertempuran antara dua serigala." Kakek itu menjawab.

"Dua serigala?" anak itu bertanya. Dia tahu kakeknya sangat bijaksana, tapi dua ekor serigala bertarung di dalam dirinya terdengar cukup aneh.

"Ya, dua serigala." Kakeknya menjawab. "Satu serigala dipenuhi kemarahan, kebencian, iri hari, penderitaan, penyesalan, kerakusan, kesombongan, mengasihani diri, rasa bersalah, kedengkian, rasa kekerdilan, kebohongan, kepongahan, rasa di atas orang lain, dan ego. Dia berkelahi dengan siapapun karena kemarahan dan emosinya membuatnya tidak bisa berpikir."

Si kakek melanjutkan, "Sementara serigala yang satunya lagi bersifat tenang dan hidup harmonis dengan segala yang ada di sekitarnya. Dia penuh dengan kedamaian, cinta, harapan, kebahagiaan, kedamaian, kerendahan hati, kebaikan, sifat membantu, empati, kemurahan hati, kejujuran, kasih sayang dan keyakinan hati. Dia cuma akan berkelahi jika itu hal yang benar untuk dilakukan dan dengan cara yang benar pula."

Si kakek menatap cucunya dan berkata, "Kadang kakek merasa kesulitan dengan dua serigala ini selalu saja bertarung di dalam diri kakek."

Anak lelaki itu bertanya, "Serigala mana yang menang, Kek?"

Si kakek tersenyum tenang dan menjawab, "Serigala yang paling banyak kuberi makan."

Dongeng Dunia: Mengapa Hidung Gajah Panjang


Dulu, hidung gajah hanyalah sebesar sepatu bot. Tapi seekor anak gajah mengubah itu semua.

Dia adalah anak yang selalu ingin tahu dan suka bertanya ini-itu. Dia bertanya pada burung unta mengapa bulu ekornya tumbuh seperti itu. Dia bertanya pada jerapah mengapa kulitnya berbintik-bintik.

Dia juga bertanya pada kudanil mengapa matanya merah, dan bertanya pada babon mengapa melon memiliki rasa sedemikian rupa.

"Apa yang dimakan buaya saat makan malam?" tanya anak gajah suatu hari.

"Sssstt!" kata semua hewan dengan nada ketakutan.

Tapi si anak gajah tidak mau diam.

Akhirnya ia bertemu burung Kolokolo. Burung itu mengatakan padanya dimana dia bisa mendapatkan jawabannya.

"Pergilah ke sungai Limpopo yang abu-abu, hijau dan licin," katanya.

Maka pergilah si anak gajak membawa sejumlah pisang dan tebu serta melon untuk bekalnya di perjalanan.

Setelah seminggu ia akhirnya sampai di tempat tujuan.

Di tepi sungai ia menginjak sesuatu yang ia kira adalah sebongkah kayu. Tapi kayu itu mengedipkan matanya.

"Maaf, apakah kamu melihat buaya di sekitar sini?" tanya anak gajah dengan sopan.

Makhluk itu berkedip lagi dan setengah mengangkat ekornya dari lumpur.

"Akulah buaya," katanya.

Anak gajah begitu senang dan ia pun berlutut.

"Aku sudah mencari-carimu selama ini," katanya. "Coba katakan padaku apa yang kamu makan saat makan malam?"

"Mendekatlah, Nak, aku akan membisikkannya," ujar buaya.

Anak gajah membungkukkan kepalanya ke moncong buaya.

Dan sang buaya langsung menyergap hidung kecilnya.

Anak gajah sadar dia dalam masalah besar. Dia duduk dan berusaha menarik. Begitu juga buaya membuat suara gaduh di air saat ia menarik dan terus menarik.

Keduanya saling tarik menarik, hingga hidung gajah terus memelar dan memelar. Akhirnya sang buaya melepaskannya.

Gajah terjerembab di tanah. Dia menatap hidungnya, yang kini ia tidak bisa lihat ujungnya! Hidungnya menjadi panjang!

Dia membungkus hidungnya dengan daun pisang dan berharap hidung itu akan menyusut kembali. Tapi hidungnya tetap menjadi panjang. Hingga sekarang.


Dongeng Dunia: Singa Yang Serakah

Suatu hari, keledai dan rubah diajak untuk membuat sebuah kesepakatan dengan singa. Isi kesepakatan itu adalah bahwa mereka harus menemani satu sama lain selama berburu makanan. Agar hasil yang didapatkan lebih maksimal dan mereka pun tidak perlu khawatir akan kelaparan.

Keledai dan rubah sedikit gugup memikrikan jika harus menemani singa berburu. Tapi memikirkan keuntungan dari kesepakatan ini, mereka pun setuju.

Mereka bertiga pun pergi berburu di hutan mencari makanan. Keledai bertugas mengawasi hewan buruan. Lalu dia akan mendekati hewan itu dan memperkenalkan diri. Itu adalah tanda bagi rubah dan singa yang bersembunyi.

Kemudian rubah akan keluar lebih dulu, mengancan hewan buruan itu. Setelah hewan itu ketakutan, dia akan lari, dan rubah akan mengejarnya, namun mengarahkannya kearah sang singa. Kemudian singa pun langsung menyergapnya dan memangsa hewan tersebut.

Ketiga hewan itu membawa pulang hasil buruan mereka. Mereka sangat senang ketika daging hewan buruan itu disajikan di depan mereka. Singa mengayunkan cakarnya dan mengambil sebagian besar daging buruannya.

Keledai berkata, "Bukankah seharusnya kita membagi daging ini sama banyaknya agar adil?"

Singa menggeram, "Apa kau pikir kau sanggup membunuh seekor hewan dalam satu serangan? Kau tidak tahu bersyukur!" Dengan marah, sang singa menyergap si kedelai dan membunuhnya.

Rubah menjadi sangat ketakutan. Ia pun hanya mengambil sebagian kecil dari daging di hadapannya.

"Kau lebih pintar dalam berbagi, rubah," ujar singa dengan congkak.

"Aku belajar dari nasib yang dialami si keledai," ujarnya, pahit.

"Tunggu! Apa kau mengambil bagian hati? Apakau tidak tahu hati adalah kesukaanku?! Kau sangat tidak bersyukur!" Dan dalam sekejap, singa pun menyergap dan membunuh si rubah.

Akhirnya singa manyantap daging ketiga hewan itu hingga kekenyangan. Karena perutnya penuh, dalam sekejap singa itu menjadi mengantuk. Ia bahkan tidak sadar ketika ada keributan dari dalam hutan.

Suara letusan senapan berburu diiringi teriakan seperti suara terompet dari kawanan gajah. Ketika singa terbangun, ia kaget melihat gajah-gajah berlarian di sekelilingnya. Namun ketika ia hendak berdiri, seekor gajah yang sedang berlari panik tidak sengaja menginjaknya dan sang singa pun tewas seketika.

Pemakaman Ananse

Di jaman saat semua binatang masih tinggal bersama, hiduplah seekor laba-laba bernama Ananse. Dia tinggal di sebuah desa dengan saudara-saudaranya dan semua jenis binatang: hyena, landak, tupai, kasuari, bunglon, babi dan banyak lagi.

Ananse merupakan salah satu tetua di desa itu, dan suatu hari dia memanggil semua teman dan saudaranya untuk mendiskusikan bagaimana mereka semua bisa lebih saling menolong satu sama lain. Karena mereka semua petani, mereka memutuskan untuk membajak, menyiangi, memanen, apapun yang dibutuhkan dikerjakan di ladang atau di sekitar rumah. Misalnya, mereka mulai di ladang pamannya Ananse pada hari Senin, di hari Selasa giliran kakeknya dan pada hari Rabu giliran keponakannya. Ananse bergabung dalam program ini dan dia melihat bahwa semua orang bergabung dan membantu. Setelah sekitar sebulan, dia duduk di depan rumahnya, dan mulai berpikir.

"Kau tahu," katanya pada diri sendiri, "menurutku aku bisa melihat sebuah cara yang bisa menguntungkan dari kegiatan ini. Aku bisa berpura-pura sakit parah, supaya aku tidak usah menolong yang lain, dan saat aku sembuh, semua pekerjaan di ladangku sudah dikerjakan!"

Maka di pagi hari berikutnya, Ananse tidak bangun dari tempat tidurnya, dan saat keponakannya datang untuk memanggilnya, Ananse mengatakan padanya, "Oooh, keponakanku tersayang, badanku ini sangat sakit hari ini, sepertinya aku tidak bisa bergabung bekerja hari ini." Keponakannya memberitahu yang lain bahwa pamannya sedang sakit. Mereka pun maklum, dan memutuskan di hari berikutnya, mereka akan membantu mengerjakan ladang Ananse. Ini berlangsung selama beberapa minggu, dan kondisi Ananse tidak juga keihatan membaik.

Satu atau dua orang mulai bergunjing, "Memang baik kita membantu mengerjakan ladang Ananse, tapi kapan dia akan membantu kita?" Ananse mendengar komplain tersebut, dan menyadari bahwa dia tidak akan bisa berpura-pura lebih lama lagi. Dia memutuskan dia akan melakukan sesuatu untuk membuat semua orang percaya bahwa dia benar-benar sakit. Keesokan harinya dia memanggil beberapa keluarga untuk berkumpul dan mengatakan pada mereka, "Penyakitku ini berlangsung lama, dan kelihatannya tidak membaik. Malah aku merasa lebih buruk hari ini. Aku sungguh berpikir aku akan segera mati." Beberapa saudaranya memprotes, "Tidak, tidak, paman, kau tidak akan mati!" "Tidak, saudaraku, aku akan memanggil tukang obat dan memberikanmu beberapa rempah-rempah."
Tapi Ananse mengatakan pada mereka bahwa dia semakin melemah seiring waktu, dan mulai mengatur pemakamannya sendiri. "Saat aku mati, katanya, kalian harus menguburkanku di ladang saudaraku Kwami. Aku sangat menyenangi ubi dari ladangnya, dan aku akan senang dikuburkan di dekatnya." Kwami setuju bahwa saudaranya bisa menguburkannya disana; lagipula sangat sulit untuk menolak keinginan orang sekarat. Ananse melanjutkan memberi instruksi: mereka harus menggali sebuah lubang yang besar, dan menutupi dinding-dindingnya dengan kain, supaya arwahnya merasa nyaman. Mereka harus meletakkan kuali dan penggorengan didalam kuburannya, supaya arwahnya bisa memasak makanan sendiri. Keluarga Ananse mulai mengerjakan penggalian kuburan, sementara Ananse berpura-pura bahwa kondisinya memburuk sepanjang waktu.

Segera dia tahu bahwa kuburannya sudah selesai, maka saat dia melihat seseorang masuk ke rumahnya, dia tinggal berpura-pura mati. Mereka mencoba membangunkannya, tapi Ananse tidak bangun, maka mereka memutuskan bahwa dia memang sudah mati. Keesokan harinya mereka membawa tubuhnya dan membaringkannya di kuburannya, yang sudah disiapkan sebagaimana telah diinstruksikan Ananse. Di malam yang sama, Ananse memanjat keluar dari makamnya dan mulai mengumpulkan ubi dari ladang itu. Dia memasaknya. Dia membuat fufu (dikeringkan menggunakan panas) dengan sebagian dari ubi-ubi itu. Saat siang hari muncul, Ananse bersembunyi di makamnya dan tidur. Malam berikutnya dia mengumpulkan ubi lagi, dan makan lagi. Ini berlangsung selama sebulan. Akhirnya Kwani memerhatikan bahwa seseorang pasti mencuri ubi-ubinya. Dia berpikir keras, siapa yang melakukan ini? Biasanya dia mencurigai Ananse, karena dia tahu kelicikan saudaranya, tapi dia sudah mati, dan tidak bisa memikirkan orang lain yang mungkin melakukannya.

Kwami memutuskan membuat jebakan. Dia menemui tukang kayu, dan mendapatkan beberapa tiang kayu yang kuat, yang ia bawa kembali ke ladangnya, dimana dia melumuri ter di sekujur tiang-tiang itu, dan menempatkannya secara strategis di sekitar ladangnya, seperti orang-orangan sawah. Dia yakin bahwa pencurinya, siapapun itu, pasti akan menyentuh salah satu tiang itu, dan terkena ter, sehingga meninggalkan jejak yang bisa dikenali.

Malam itu saat Ananse keluar dari makamnya untuk mengambil ubi, dia melihat sebuah sosok di tengah-tengah ladang. "O-ow," pikirnya, "seseorang mengawasiku!" Tapi dia melihat sosok itu berdiri saja disana, tak bergerak sama sekali. Rasa ingin tahunya semakin besar, dan pelan-pelan mendekatinya. Karena tiang itu tidak begitu tinggi, Ananse menduga itu pasti seorang anak kecil. Dia memutuskan untuk mengerjai anak itu. Dia mengendap-endap dan berkata padanya, "Aku baru melihat ibumu mencari-carimu. Dia bilang kau harus pulang untuk makan malam." Tapi tentu saja orang-orangan sawah itu tidak bereaksi.

Ananse mengulangi, "Ibumu mencari-carimu! Makan malammu sudah menunggu!" Tapi tetap tidak ada reaksi. Ananse merasa kesal. "Hey, Nak, aku sedang bicara padamu! Kenapa kau tidak menjawabku?" Tidak ada jawaban, dan Ananse semakin kesal. "Kau mau aku pukul? Baiklah, aku pukul kau, dan kita lihat apa yang akan terjadi."Ananse memukul tiang itu, dan tangannya langsung melekat di ter. Dia menarik, tapi tidak bisa lepas. "Lepaskan aku, anak bandel!" teriaknya. "Lepaskan tanganku!" Dia berteriak pada tiang kayu itu. "Lepaskan aku atau aku pukul lagi kau!" dan dia memukulnya lagi dengan tangannya yang lain. Dan segera saja tangan itu juga menempel di ter. Ananse kaget dan marah.

"Aku akan menendangmu, jika kau tidak melepaskanku!" Dia menendang tiang itu dengan kaki kirinya, dan menempel. Dia menendang lagi dengan kaki kanannya, dan menempel juga. Ananse benar-benar menempel di tiang itu tanpa bisa berkutik. Dia menarik sekuat tenaga, tapi tidak ada hasil. Akhirnya dia kelelahan dan menyerah, dan menangis sampai ketiduran.

Saat matahari terbit, Kwami datang ke ladangnya, ingin tahu apakah jebakannya berhasil. Dia melihat sekeliling dengan hati-hati dan melihat tak ada lagi ubinya yang dicuri, maka sebagian dari rencananya berhasil. Sambil tersenyum senang, dia berkeliling untuk memeriksa orang-orangan sawah ber-ter, dan dia melihat sesosok laba-laba menempel pada salah satunya. Saat dia memburu mendekat dia mengenali saudaranya, Ananse.

Kwami berteriak, "Ananse! Ananse! Apa yang kau lakukan disini, kau 'kan seharusnya mati!"
Dengan tenang, Ananse menjawab, "Ananse memang sudah mati, aku adalah hantunya!"
Kwami sangat polos dan percaya takhayul, jadi saat dia mendengar itu, dia benar-benar percaya itu adalah hantu saudaranya. Dia menjadi sangat takut dan lari! Dia lari ke desa, meneriakai semua orang yang dia temui, "Hantu Ananse! Aku baru saja melihat hantu Ananse!" Orang-orang berkumpul mendekatinya, ingin tahu lebih jauh. Kwami memberitahu mereka dia melihat hantu Ananse, terjebak di orang-orangan sawah yang ia letakkan di ladangnya. Tentu saja para penduduk desa ingin melihat ini, maka mereka semua berlari ke ladang Kwami. Disana mereka melihat sendiri sosok Ananse masih melekat di tiang.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya mereka. "Kau seharusnya sudah mati. Kami menguburkanmu tak berapa lama!"
"Aku hantu!" lolong Ananse, yang menjadi sangat tidak nyaman. Para penduduk desa menjadi takut, dan mereka sudah bersiap akan lari, saat Ananse berteriak, "Berhenti, berhenti! Kenapa kalian lari? Aku keluarga kalian, bukan? Tidak perlu takut! Dan ngomong-ngomong, aku butuh bantuan! Aku butuh bantuan!"
Salah satu pria yang berani mendekat, dan bertanya, "Bantuan apa yang kau butuhkan, saudara Ananse?"
Ananse menjawab, "Aku terjebak di tiang ber-ter ini, tak bisakah kau melihat? Aku butuh bantuanmu menarikku lepas!"
Beberapa dari mereka pun mulai menariknya. Ananse memberi instruksi, "Tarik disini, sedikit lebih ke sisi ini, sedikit lebih kuat di sini!"

Tapi salah satu penduduk desa yang sudah menarik kaki Ananse, mundur dan menggaruk kepalanya. "Tunggu sebentar," katanya. "Ini bukan hantu! Ini Ananse asli. Dia tidak mati sama sekali!" Mereka semua berhenti menariknya. "Ya," kata yang lain, "bagaimana bisa hantu menyuruh-nyuruh kita menariknya disini, menariknya disana?" Mereka mulai memukulinya dengan kayu, melemparinya dengan lumpur dan menghujaninya dengan cacian. Sebentar kemudian Kwami merasa kasihan pada saudaranya, dan menyuruh mereka untuk berhenti. Mereka menariknya hingga lepas, dan menyuruhnya untuk meninggalkan desa, dan tidak pernah muncul lagi. Setelah Ananse diusir semua keluarganya begitu malu sehingga mereka memutuskan untuk meninggalkan desa juga, dan hingga hari ini, setiap kalian melihat laba-laba dia selalu mencoba menyembunyikan sesuatu dengan jaringnya, didalam retakan di lantai atau sudut gelap, karena dia malu pada nenek moyang mereka Ananse.

Ilustrasi oleh Emma Carter

Kisah Pria Yang Serakah

Jaman dahulu, hiduplah seorang pria bernama Kofi Amero tinggal di desa bernama Amero Kopfhi. Desa itu diberi nama demikian sebab di masa itu dia orang yang paling kaya di seluruh desa. Kofi Amero orang yang keras, tapi dia juga egois sekali. Kecuali bersama kekayaannya, dia hidup sendiri, tanpa isteri atau anak, karena tak ada wanita yang bisa mentolerir kebiasaan anehnya.

Suatu hari yang cerah, setelah Kofi Amero sarapan, dia bersantai di teras rumahnya, saat tiba-tiba dia menangkap pemandangan seorang asing berdandan awut-awutan seperti gembel. Pria itu kelihatan sangat aneh sehingga Kofi Amero berpikir dia pasti orang tidak waras dan mengacuhkannya. Dia agak kaget ketika pria itu meminta makanan padanya. Kofi Amero tidak suka beramal, dan dia merasa terganggu karena pria itu. Tapi dia punya kokoyam (sejenis umbi-umbian) yang belum dimasak ditaruh dibawah jendela, jadi dia mengambil sepotong kecil yang kering dan melemparkannya kepada pria peminta-peminta itu. Pria itu langsung mengambilnya dan memakannya dengan rakus dalam hitungan detik. Saat dia memakan gigitan terakhir, dan menjilati jarinya, dia berdiri dan di depan mata Kofi Amero ia berubah menjadi malaikat.

Kofi terduduk di lantai. Orang asing itu meminta Kofi Amero untuk tidak takut, tidak tidak bermaksud menyakiti. Dia berkata, "Kofi, karena kau cukup baik membagiku makanan, walaupun kau berpikir aku pengemis gila, sebelum aku meninggalkan tempat ini, aku akan memberikanmu tiga permintaan."

Seperti yang bisa dibayangkan Kofi Ameroa begitu bersemangat ketika mendengar ini. "Hahahaha, hihihi, hari ini benar-benar hari yang bagus bagiku!" Dia menggaruk kepalanya memikirkan permintaannya, lalu meminta malaikat itu masuk. Dia menunjuk ke sebuah kursi berlengan tua di sudut ruangan. "Tuan," katanya, "Anda bisa melihat kursi di sudut itu?" Sang malaikat mengangguk, "Ya, saya bisa melihatnya."

Kofi melanjutkan, "Itu adalah satu-satunya kursi di rumahku, dan sangat mahal. Setiap ada tamu mereka akan duduk disitu, aku jadi terpaksa berdiri atau duduk di lantai. Maka, aku ingin siapapun yang duduk di kursi itu selain aku, dia akan melontarkan orang itu ke udara! Begitu tinggi sehingga ketika mereka jatuh ke tanah mereka akan kesakitan dan tidak mau duduk di kursi itu lagi!"

Walaupun malaikat itu berpikir permintaan itu agak aneh, dia mengabulkannya, dia berkata pada Kofi, "Terkabul."

Kofi Amero menggosok kedua tangannya, dan mengajak malaikat itu kembali ke depan rumah, dimana ia menunjuk sebuah pohon. "Tuan Malaikat, Anda bisa lihat pohon ini?" Sang malaikat mengangguk. "Ya, saya bisa melihatnya." Kofi menjelaskan, "Aku yang menanamnya sendiri, sangat mahal. Tapi penduduk desa suka mengambili daunnya karena berkhasiat untuk obat untuk penyakit anak-anak mereka. Tapi aku tidak rela!" Kofi terbatuk, lalu melanjutkan, "Jadi Tuan, aku ingin Anda memantrai pohon ini, sehingga siapapun yang mencoba memetik sehelai daun pun, akan terhisap dan terjebak di batang pohonnya!"

Sekali lagi, malaikat itu merasa permintaan itu aneh, tapi dia mau tidak mau harus mengabulkannya. Dia berkata pada Kofi, "Terkabul, Kofi. Apa permintaan ketiga dan terakhirmu?"

Kofi mengajak malaikat itu kembali ke dalam rumahnya. Dia menunjuk kearah selang dan penggaruk rumput serta peralatan berkebun lainnya. "Anda bisa lihat peralatan itu, Tuan?" tanya Kofi. Malaikat mengangguk. "Ya, aku bisa melihatnya. Peralatan yang bagus."

"Tepat sekali. Aku membeli peralatan ini, sangat mahal. Orang-orang datang sepanjang waktu untuk meminjamnya. Kadang mereka minta ijin, kadang tidak, langsung mengambilnya begitu saja. Dan tentu saja saat peralatan itu rusak, aku harus membayar untuk biaya perbaikan. Jadi aku ingin Anda membuat peralatan-peralatan itu sangat berat, sehingga siapapun kecuali aku tidak bisa mengangkatnya! Maka mereka pun akan berpikir dua kali untuk meminjamnya lagi."

Malaikat mengangguk sedih. "Baiklah, Kofi. Permintaanmu sudah terkabul. Sekarang aku harus pergi." Malaikat pun menghilang.

Beberapa hari kemudian, saat Kofi Amero sedang membereskan makan malamnya, Setan datang berkunjung. Tentu saja Kofi Amero tidak mengenalinya, dia menunjukkan rumahnya dan menawarinya duduk di satu-satunya kursi di rumah itu. Si tamu merendahkan tubuhnya untuk duduk, begitu dia menyentuhnya, kursi itu melemparkannya ke udara, dan saat dia jatuh ke tanah, kakinya cidera. Sang tamu bangkit, merapikan pakaiannya, memaki-maki Kofi Amero dan berlalu pergi. Kofi Amero tertawa terpingkal-pingkal, dia sangat senang jebakannya berhasil dan malam itu dia tidur sangat nyenyak tidak seperti biasanya.

Di hari lain Kofi Amero bersiap pergi bekerja saat dia mendengar keributan di belakang rumahnya. Dia berjalan kesana dan mendorong para tetangga yang terpincang-pincang dan memaki-maki Kofi Amero. Kofi tertawa keras dan berkata kepada mereka, "Rasakan! Kalian harus belajar beli peralatan sendiri!" Peristiwa itu membuat Kofi Amero senang sepanjang hari itu.

Di hari yang lain lagi, dia kembali dari pekerjaan di lapangan, saat dia melihat seorang wanita dari desa itu membawa bayi di punggungnya, berjalan ke pohon. Kofi Amero mengawasi dengan penuh antusias melihat jebakan ketiganya bekerja. Begitu wanita itu menyentuh daunnya, dia tertarik kedepan pohon, dan terhisap kedalam batangnya. Dia berteriak minta tolong, tapi Kofi Amero hanya tertawa.

"Kau pantas mendapatkannya. Kalian pikir bisa mengambil milikku seenaknya tanpa membayar! Pikirkan itu selagi kau terjebak disana!" katanya.

Malam itu Kofi Amero menyantap makan malamnya, dia tidak bisa berhenti tertawa karena ketiga jebakannya berhasil. Semakin dia memikirkannya, semakin keras dia tertawa; sampai tidak terkontrol.

Tapi tiba-tiba dia berhenti: sebuah rasa sakit yang tajam menyerang dadanya, dan Kofi Amero jatuh, dia mendapat serangan jantung. Beberapa hari kemudian saudara laki-lakinya yang bekerja di tempat yang bersebelahan dengan Kofi, datang karena khawatir tidak melihatnya di tempat kerja. Dia menemukan Kofi Amero tewas di lantai. Segera saja dia memberitahu anggota keluarga yang lain, dan menyiapkan acara pemakaman. Saat jenazahnya mulai membusuk, prosesnya pun dipercepat. Kofi Amero dikubur tanpa banyak acara, hanya dua saudara laki-lakinya yang datang di pemakaman. Tak ada satu pun penduduk desa yang ingin menghabiskan pagi mereka menangisi pria yang mereka benci.

Kofi Amero tiba di gerbang surga untuk diadili. Dia disapa oleh malaikat yang muncul di rumahnya dulu, tapi Kofi Amero tak mengenalnya. Malaikat itu mengeluarkan sebuah buku besar, dan mengajak Kofi Amero untuk melihat apa yang tertulis di buku itu tentangnya. "Seperti yang bisa kau lihat, Kofi Amero, kata sang malaikat, selama hidupmu kau hanya pernah melakukan satu kebaikan, yaitu memberiku kokoyam-mu. Tapi sisanya hanya tentang hal-hal buruk dan serakah yang kau lakukan pada keluarga dan tetangga-tetanggamu. Kau tidak memenuhi syarat untuk memasuki gerbang surga ini. Kau harus pergi ke neraka."

Maka Kofi Amero berjalan pergi menuju gerbang neraka. Saat dia tiba disana dia bertemu Setan yang menunggunya. Setan mengenalinya sebagai pria yang licik dan menjebaknya dengan kursinya, dan langsung saja menolaknya untuk masuk ke neraka. Karena dia gagal menyenangkan penjaga neraka maupun surga, jiwanya gentayangan di angkasa untuk selamanya.


Kisah Permaisuri Yang Selalu Bersedih

Pada jaman dahulu, ada seorang raja yang berkuasa di Cina. Raja ini memiliki semua yang dia inginkan. Dia memiliki harta, istana yang indah, kuda-kuda terbaik, prajurit-prajurit paling tangguh dan rakyat yang mencintainya. Tapi ada satu hal. Dia tidak memiliki isteri. Maka suatu hari dia mengumpulkan tujuh prajurit kepercayaannya, mengendarai kuda terkuat, dan berangkat mencari seorang isteri. Mereka pergi berbulan-bulan dan telah singgah di banyak istana dan kota, dan bertemu banyak putri-putri dan wanita-wanita cantik jelita, tapi tak ada satu pun yang membuat sang raja jatuh hati.


Setelah perjalanan panjang mereka tiba di sebuah danau, dan sang raja memutuskan untuk beristirahat disana dan membangun kemah untuk bermalam. Saat dia sedang menyantap makan malam dia mendengar suara samar yang berasal dari arah danau. Dia bangkit dan berjalan mendekati air. Disana dia melihat sebuah perahu yang menepi, dan diatas perahu itu ada sosok seorang perempuan. Dengan cahaya bulan dia melihat wajah wanita itu dan dia segera mengetahui bahwa dia lah wanita yang dia cari.


Dia memanggil prajurit-prajuritnya, dan mereka menyeberangi danau dan mendorong perahu itu ke tepian. Sang raja membantu wanita itu melangkah ke daratan dan memperkenalkan dirinya. Dia mengundang wanita itu sebagai tamu makan malamnya. Sang raja mengutarakan maksud perjalanannya, dan bertanya apakah dia mau ikut ke istana dan menjadi isterinya. Wanita malang itu berkata dengan nada menolak, "Kau ingin menikahiku, meskipun aku ini orang yang benar-benar asing bagimu?"

Raja bertahan. Dia mengatakan bahwa dia tidak pernah melihat wanita seperti dia dan dia bisa membuat sang raja sangat bangga jika dia bersedia menjadi isterinya. Dia menjanjikan kemewahan dan kenyamanan, pelayanan yang memerhatikan setiap kebutuhannya, dan kesetiaan tanpa akhir, jika dia bersedia menjadi isteri sang raja. Wanita itu menunduk, dan berkata, "Ya, rajaku, kalau begitu aku akan senang menerima lamaranmu untuk menikah."


Dalam perjalanan kembali ke istana, sang raja tak hentinya mengobrol dengan calon pengantinnya, tapi sang wanita justru tidak bicara banyak. Dia mengatakan bahwa namanya Jin-a, dan bahwa dia sudah berjalan jauh, tapi tidak mengatakan darimana dan mengapa. Sang raja memerhatikan bahwa Jin-a tidak pernah tersenyum, tapi dia tidak begitu peduli, berpikir bahwa perjalanan panjang mungkin membuatnya kelelahan. Dia yakin begitu mereka sampai di istana dan menikah, mood-nya akan kembali. Pernikahannya berlangsung beberapa hari setelah mereka tiba di istana, dan negara itu merayakannya selama tiga hari.

Permaisuri baru itu menjalankan tugasnya dengan baik, dan seluruh istana kagum oleh tingkah laku dan keanggunannya. Tapi tetap Jin-a tidak kunjung tersenyum. Sang raja menanyakan apa masalahnya, tapi dia menjawab bahwa semuanya baik-baik saja dan dia sangat bahagia.

Sang raja tentu saja mencoba segalanya untuk membuat permaisurinya tersenyum: dia mendatangkan pelawak dari jauh, penghibur jalanan, tapi sang permaisuri tak kunjung tersenyum. Lalu suatu hari dia punya ide yang dia yakin akan berhasil.


Dia menyuruh semua anggota kerajaan untuk berkumpul sore itu di markas rahasia, dan memberitahukannya bahwa musuh menyerang dan sudah tiba di gerbang!

Malam itu setelah makan malam sang raja dan permaisurinya sedang berada di kamar. Permaisuri sedang menyisir rambutnya dan raja berlatih kaligrafi, ketika tiba-tiba pintu terbuka dan seorang pengawal muncul. "Yang Mulia," dia berteriak, "ada musuh asing di gerbang, bersiap menembakkan meriam!" Sang raja melompat, tinta dan kuas di tangannya berceceran di lantai. Dia mengangkat tangannya keatas, "Dimana prajurit-prajuritku," teriaknya, "Dimana para penjaga?" Melihat ekspresi sang raja, sang permaisuri tiba-tiba tergelak. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, sang raja sangat gembira. Dia melompat-lompat dan mengguncang-guncangkan tangan pengawalnya. "Berhasil, berhasil! Dia tertawa! Akhirnya dia tertawa!" Akhirnya dia pun mengakui bahwa itu semua trik agar permaisurinya tertawa. Mendengar pengakuan itu, sang permaisuri pun tersenyum.


Hari berikutnya, sang permaisuri kembali ke sikapnya semula. Raja sekali lagi mencoba semua trik yang dia ketahui untuk membuat permaisuri tersenyum lagi tapi tidak ada yang berhasil. Beberapa hari berlalu, dan sang raja sendiri menjadi sedih, karena beranggapan bahwa mungkin ada sesuatu di masa lalu isterinya yang begitu menyedihkan sehingga sulit untuk dilupakan. Dia mengamati isterinya membaca buku puisi. Tiba-tiba terdengar suara bantingan keras, dan pintu ruangan itu terbuka, seorang pengawal muncul, berteriak, "Yang mulia, ada tentara musuh di pintu gerbang! Mereka menembaki kita dengan meriam!"

Sang raja menggeleng dan berjalan kearah si pengawal, dan berkata, "Aku tahu kau bermaksud baik, tapi cara itu sudah tidak berhasil." Sang pengawal melanjutkan, "Tidak, Yang Mulia, kali ini sungguhan!" Ternyata benar, sang raja keluar dan mendengar suara meriam menghancurkan dinding-dinding istananya; dia memanggil penjaga, tapi sudah terlambat.


Prajurit musuh sudah masuk ke istana, membunuh semua orang yang menghadang. Enam orang dari mereka berlari di koridor dan membunuh sang raja serta pengawal setianya. Dia membiarkan Jin-a hidup, dan pemimpin perang yang menang itu pun menjadikan dirinya raja baru negara itu dan mengakhiri pertempuran, mempersunting Jin-a sebagai permaisurinya.

Buaya Bernama Awan Mendung

Cerita rakyat dari Myanmar

Jaman dahulu hiduplah seorang nelayan di dekat sungai Irrawady, Ye Myint dan isterinya Aye Aye Se. Setiap hari, pekerjaan mereka adalah menebar jaring dan menangkap ikan, untuk dijual di pasar. Mereka tidak memiliki anak.

Suatu hari, seperti biasa Ye Myint menebar jaring, tapi tidak mendapatkan satu ikan pun kecuali sebuah telur. Ia pun mengenali telur itu sebagai telur buaya.

Dia membawa pulang telur itu dan menaruhnya di jerami. Waktu berlalu, telur itu pun menetas dan keluarlah bayi buaya kecil.

Ye Myint dan Aye Aye Se sangat senang. Mereka memberi nama buaya itu Awan Mendung, dan merawatnya seperti anak mereka sendiri.

Ye Myint membuat sebuah kolam air tawar untuk tempat Awan Mendung berenang agar tidak dimangsa hewan buas lain.

Seiring waktu, Awan Mendung menjadi terlalu besar untuk kolam kecil itu. Maka dengan berat hati, Ye Myint dan Aye Aye Se melepasnya kembali ke sungai.

Tapi setiap hari mereka pergi sungai untuk memanggil dan memberi Awan Mendung makan. Dengan cepat, Awan Mendung pun menjadi sangat kuat dan amat ditakuti ikan-ikan dan buaya lainnya di sungai.

Suatu hari, Ye Myint memanggil Awan Mendung untuk memberinya makan. Dia pun muncul melata dengan cepat. Suasana hatinya sedang buruk dan buas.

Saat sang nelayan mengeluarkan ikan untuknya, Awan Mendung muncul dari air dan menerkam pergelangan kakinya, menariknya ke air.

"Putraku, apa yang kau lakukan?" tanya Ye Myint.

"Aku memutuskan untuk memakanmu," kata Awan Mendung dengan desisan marah.

"Tapi aku ayahmu yang sangat menyayangimu."

"Aku tetap akan memakanmu," kata Awan Mendung dengan mata merah.

"Baik. Kau boleh memakanku, tapi biarkan aku berdoa untuk yang terakhir kali," kata Ye Myint. Awan Mendung mengijinkan dan pria tua itu pun berlutut dan berdoa agar dia terlahir kembali sebagai Penguasa Sihir Putih agar bisa membalas dendam pada Awan Mendung. Setelah selesai, buaya itu pun menariknya ke sungai dan memakannya.

Siring waktu, Awan Mendung menjadi semakin kuat dan dia pun menjadi Raja Irrawady.

Karena dia tampan dan kuat, banyak buaya betina yang jatuh cinta padanya. Tapi Awan Mendung menolak mereka karena terlalu sibuk menjadi raja.

Tapi setelah bertahun-tahun berlalu, Awan Mendung memikirkan tentang masa lalunya dan merasakan penyesalan yang amat dalam.

Awan Mendung pun berubah menjadi baik dan tidak suka menyerang, terutama pada manusia. Dia ingin menebus kesalahannya.

Buaya bisa berubah wujud menjadi manusia saat mereka berusia 100 tahun. Maka, setelah usianya mencapai 100 tahun, Awan Mendung memutuskan untuk menanggalkan kulit buayanya yang bersisik dan menjadi seorang pria yang tampan.

Dia bekerja sebagai seniman dan sangat ahli dalam melukis.

Selagi melukis dia bertemu seorang wanita cantik bernama Soe Min dan menikah dengannya. Mereka hidup sejahtera dan Awan Mendung membangun rumah tak jauh dari sungai Irrawady.

Seperti yang sudah ditakdirkan, lahir seorang anak di desa dekat Irrawady. Saat berumur 16 tahun, Moe Kyaw sadar bahwa dia adalah Penguasa Sihir Putih.

Setelah ulangtahunnya yang ke-17, ia pun pergi ke sungai Irrawady. Dengan tongkat ajaibnya, dia mencelupkannya ke sungai dan memanggil, "Awan Mendung!"

Awan Mendung terbangun tiba-tiba. Dia bisa mendengar panggilan itu dan merasa takut.

Dia membangunkan isterinya yang sedang tidur dan menceritakan semuanya. Soe Min menangis sedih. "Sabarlah, sayang," kata Awan Mendung. "Aku harus membayar apa yang telah kuperbuat." Awan Mendung pun bergegas ke sungai dan berubah sekali lagi menjadi buaya.

Dia mengenali suara ayahnya dan tahu bahwa dia akan membalas dendam. Dengan berat hati, dia pun tahu hanya dengan kematiannya lah lingkaran setan ini akan berakhir.

Saat panggilan ketiga, Awan Mendung pun muncul. Dalam kemarahannya, reinkarnasi Ye Myint menyentuhkah tongkatnya pada Awan Mendung dan buaya itu pun tewas seketika.

Dia tidak sempat menyadari apa yang hendak ditinggalkan Awan Mendung untuknya. Dia menyaksikan dengan terkejut saat tbuh atas Awan Mendung dan dua kakinya berubah menjadi rubi dan bagian perutnya menjadi emas murni.

Ye Myint sangat menyesal. Meskipun dia telah memenuhi keinginannya, tapi tetap saja itu adalah anaknya. Dia pun sadar bahwa dendam tidak akan membayar siapapun tapi hanya meninggalkan salah satu pihak dengan penyesalan besar seumur hidup.

Ye Myint tidak pernah menyentuh benda-benda berharga yang ditinggalkan Awan Mendung di saat kematiannya.

Soe Min datang mencari suaminya. Saat dia melihat tumpukan emas dan rubi itu dia menangis karena menyadari suaminya telah tiada.

Dia mengumpulkan batu-batu mulia itu dan membangun pagoda besar yang diberi nama Awan Mendung yang masih ada saat ini, terletak di pinggir sungai Irrawady.

Disebutkan jika orang masuk kedalam pagoda itu maka dia bisa mendapatkan kekasih pujaannya.

Kaku dan Lal Hawa

Kaku tinggal di sebuah desa kecil bernama Chotti Dadi, India. Desa kecil itu memiliki sebuah sekolah. Setiap hari Kaku harus berjalan dari pondok kecilnya ke ujung desanya untuk sampai ke SD dekat sumur desa. Dalam perjalanannya ke sekolah, dia melalui sawah-sawah hijau, danau dan tanah Ram Lila tua. Semua temannya, Jhunjhunu yang pengkhayal, Pinaki yang penuh semangat atau Tachi yang suka bicara, tidak suka berjalan ke sekolah.

Tapi Kaku suka berjalan ke sekolah. Dia mendapatkan seorang teman baru dalam perjalannya. Panas maupun hujan, Kaku akan berjalan ke sekolah. Ibunya sangat senang karena Kaku sangat suka sekolah. Dia tidak tahu tentang teman barunya yang BESAR. Kaku tidak pernah memberitahu siapapun. Tak ada yang tahu mengapa dia suka berjalan melewati sawah-sawah, danau dan tanah Ram Lila tua menuju sekolahnya. Kaku ingin menyimpan rahasia tentang temannya. Dia pikir teman-temannya akan menertawakannya.

Setiap pagi Kaku bangun sebelum ayam jago tetangga berkokok. Kaku sudah siap dengan seragam sekolahnya, menunggu dengan tak sabar kotak bekalnya. Begitu dia mendapatkan idlis nasi dan chutney kelapa favoritnya, dia langsung berlari pergi. Kaku berangkat dari rumah pada jam setengah tujuh pagi untuk menemui temannya, yang dia panggil Lal Hawa.

Saat dia melintasi sawah, suara chuk-chuk halus menyapanya. Kaku begitu senang saat dia mendengar Lal Hawa datang. Kaku tahu dia bisa melihat Lal Hawa paling jelas dari sebuah bukit lumpur kecil dekat danau. Saat suara chuk-chuk itu semakin keras Kaku berjalan lebih cepat. Dia tahu triknya. Setiap suara chuk-chuk terdengar dari Lal Hawa, Kaku akan melangkah cepat-cepat melewati sawah menuju danau.

Kaku tahu kapan Lal Hawa akan bersiul dengan cepat dan bersemangat. Kaku tahu, Lal Hawa mengatakan "Halo" dalam bahasanya saat dia bersiul. Kaku bersiul membalas, menyambut Lal Hawa.

Dia berlari melaewati sawah menyuarakan chuk-chuk-chuk-chuk-kuuuuu..... Saat dia tiba di danau, dalam sesaat, mesin besar itu mendatanginya. Saat Lal Hawa muncul, angin kencang mulai bertiup. Rambut Kaku berkibaran sampai poninya menempel di matanya. Seragamnya ikut berkibar seperti layangan di langit pagi.

Berdiri di bukit kecil itu, Kaku melihat Lal Hawa menjadi lebih besar dan lebih besar. Dalam hitungan detik, Lal Hawa menutupi seluruh langit biru saat ia bergerak menuju Kaku. Anak itu melompat gembira. Dia bertepuk tangan dan melambai saat Lal Hawa ber-chuk-chuk melewatinya. Dia melambai sampai akhir. Tangan-tangan tak dikenal melambai balik dari jendela-jendela Lal Hawa. Saat pandangan Kaku mengikuti kereta merah itu, dia melihat tangan-tangan kecil melambai padanya. Dia berlari mengikuti Lal Hawa melambai balik pada tangan-tangan kecil.

Kaku tak percaya seberapa cepat Lal Hawa bisa berlari. Dia yakin Lal Hawa memiliki roda-roda ajaib. Dalam beberapa detik Lal hawa bisa melewatinya dan desa kecilnya.

Kaku senang bertemu Lal Hawa setiap hari. Dia suka warna merah, roda-rodanya yang cepat, jendela-jendela yang melambaikan tangan dan suara chuk-chuk-nya, saat ia bergerak.

Kaku berdoa setiap malam agar Lal Hawa berhenti di desanya sekali saja.

Suatu hari dia bertanya pada gurunya di sekolah apakah Lal Hawa akan berhenti di Chotti Dadi. Gurunya tertawa keras dan memberitahunya bahwa desa mereka terlalu kecil untuk Lal Hawa yang besar dan hebat. Merasa kecewa, Kaku memutuskan untuk bertanya pada Amma, ibunya, pertanyataan yang sama. Di sore hari, Amma berkata, "Kaku, seperti keinginanmu untuk bertemu Lal Hawa, dia juga ingin sekali berhenti suatu hari dan bertemu denganmu." Kaku memeluk Amma dan menciumnya.

Kaku membuat rencana besar agar suatu hari Lal Hawa berhenti di Chotti Dadi. Kaku bermimpi terbang diatas Lal Hawa yang melaju cepat. Dia membayangkan dia melambai pada Amma, Jhunjhunu, Pinaki, Tachi dan gurunya. Dia juga akan menyediakann tiga idlis setiap hari untuk tangan-tangan kecil yang melambai padanya dari Lal Hawa.

Tapi Lal Hawa tidak pernah berhenti. Setiap hari, Lal Hawa berlalu dengan cepat melewati danau desa, meninggalkan Kaku di bukit lumpur kecil. Dia harus memakan idlis-nya sendirian. Melihat Kaku sedih, suatu hari ibunya menyuruh teman-temannya untuk berjalan ke sekolah dengan Kaku. Kaku tahu dia akan rindu melihat Lal Hawa karena teman-temannya berjalan ke sekolah lewat jalan pintas. Kaku bertanya pada Amma apakah dia bisa berjalan ke seklah sendirian saja untuk satu hari lagi, dan melihat Lal Hawa untuk yang terakhir kali. Amma menyetujui, dan menjelaskan pada Kaku bahwa ketika dia besar nanti dia bisa pergi ke stasiun besar di kota dan bertemu Lal Hawa.

Pagi berikutnya, angin segar menyambut Kaku saat dia berjalan ke sekolah. Dia pergi melelwati sawah-sawah hijau, danau desa dan tanah Ram Lila tua. Kaku berjalan pelan. Dia sedih. Hari ini adalah hari terakhirnya dia akan melambai pada Lal Hawa. Saat dia berjalan, dia mendengar dari jauh suara Lal Hawa..., chuk-chuk-chuk. Kaku mulai berjalan lebih cepat. Seperti biasanya, dia mulai berlari mengikuti suara Lal Hawa dan mulai bersiul "Kuuuu..." seperti siulan Lal Hawa.

Dia bisa melihat Lal Hawa yang besar dan luarbiasa muncul saat dia mencapai bukit kecil. Dia cepat dan merah. Kaku melihat lebih dekat dan berdoa bahwa Lal Hawa, teman kesayangannya, akan berhenti. Angin yang bertiup sangat kencang setiap kali Lal Hawa datang, tiba-tiba berhenti. Kaku tidak percaya apa yang dilihatnya. Dia mengerjab-ngerjabkan matanya. Itulah saat dia mendengar suara berisik dari desanya. Semua orang berlari menuju Lal Hawa, berteriak dan bersorak-sorai. Dia bisa melihat gurunya, Amma, Tachi, jhunjhunu, Pinaki dan penjaga rel tua berjalan cepat kearah Lal Hawa. Lal Hawa berhenti di Chotti Dadi dan menunggu Kaku menemuinya.

Lal Hawa bersiul keras, Kaku tertawa dan bersiul membalas. Dengan cepat, dia memungut kotak bekalnya dan memanjat masuk Lal Hawa. Dan, kemudian, seolah-olah dia memang sudah lama menunggu Kaku, Lal Hawa ber-chuk-chuk lagi. Suara chuk-chuk pelan menjadi lebih cepat dan saat Amma baru muncul, Lal hawa terbang dengan roda-roda ajaibnya dengan Kaku didalamnya. Amma tersenyum. Dia meneteskan airmata melihat Kaku begitu bahagia. Dari sebuah jendela, Kaku melambai ke semua orang. Lal Hawa terbang bersama Kaku!


Dokter Yang 'Tidak Menyembuhkan'



Seorang wanita tua kehilangan penglihatannya secara total. Maka dia pergi ke seorang dokter untuk membantunya melihat lagi dan membuat perjanjian dengannya di hadapan beberapa saksi. Perjanjian itu adalah bahwa: jika dokter itu bisa menyembuhkannya, dia akan dibayar dengan banyak uang. Tapi jika tidak, wanita itu tidak akan membayar apapun.

Dokter itu punya salep khusus. Ketika krim itu dioleskan ke mata dalam jangka waktu tertentu, itu bisa mengembalikan penglihatan siapapun yang buta.

Sang dokter mulai mengunjungi pasien barunya itu setiap hari untuk mengoleskan salep itu. Tapi karena wanita itu tidak bisa melihat, dia mulai mencuri barang-barang di rumahnya, satu per satu. Ketika tidak ada lagi yang tersisa untuk dicuri, dia memutuskan untuk menyembuhkannya dan meminta bayarannya.

Ketika wanita tuda itu mendapatkan kembali penglihatannya, dia melihat semua isi rumahnya sudah dicuri dan menduga bahwa sang dokter lah pencurinya. Maka, dengan mengatakan bahwa dia belum sembuh, dia menolak untuk membayarnya. Sang dokter tidak menerima dan memaksanya untuk membayar. Tapi wanita tua itu menolak lagi dan keduanya pun pergi ke pengadilan.

Hakim bertanya pada wanita tua mengapa dia menolak membayar sang dokter. Dia menjawab, "Dokter itu mengatakan yang sebenarnya. Saya memang berjanji memberikannya uang jika saya mendapatkan kembali penglihatan saya. Dan jika saya tetap buta, saya tidak membayarnya sepeserpun. Sekarang dia mengaku sudah menyembuhkan saya dan saya menyuruh saya untuk membayarnya. Tapi saya masih buta."

Semua orang terkejut melihat wanita tua itu. "Bagaimana anda bisa mengatakan itu? Semua orang di ruang pengadilan bisa melihat bahwa penglihatan anda sudah kembali," kata hakim.

"Yang mulia," kata wanita tua itu. "Saya benar-benar tidak bisa melihat. Sebelum saya kehilangan penglihatan, saya melihat banyak barang berharga di rumah saya. Tapi sekarang, walaupun dokter itu bersumpah saya sudah sembuh dari kebutaan, saya tidak bisa melihat satu pun barang berharga di rumah itu."

Hakim itu setuju bahwa wanita tua itu memang masih buta, dan melepaskannya tanpa hukuman.

Laba-Laba, Kelinci dan Sang Bulan

Bulan sedang sedih. Ia menghabiskan bertahun-tahun menatap orang-orang di Bumi dan ia melihat mereka sedang ketakutan. Mereka takut akan mati. Untuk membuat mereka merasa lebih baik ia memutuskan untuk memanggil temannya si Laba-Laba untuk menyampaikan pesan pada mereka.

"Laba-laba," katanya, "orang-orang Bumi takut akan mati dan itu membuatku sangat sedih.Tolong katakan pada mereka bahwa mereka semua akan mati cepat atau lambat tapi tidak ada alasan untuk takut."

Jadi Laba-laba pun kembali ke Bumi, berhati-hari memilih jalannya turun dibawah sinar bulan dan matahari. Dalam perjalanannya, ia bertemu Kelinci.

"Mau kemana, Laba-laba?" tegur Kelinci.

"Aku akan menyampaikan pesan dari Bulan kepada Manusia," katanya.

"Oh, itu pasti jauh sekali. Beritahu aku pesannya dan aku akan meneruskannya untukmu," ucap Kelinci.

"OK! Bulan ingin orang Bumi mereka semua akan mati..." Laba-laba mulai bicara.

"Baik! Beritahu orang Bumi bahwa mereka semua akan mati," kata Kelinci. Dan dengan itu, Kelinci menghilang pergi ke Bumi.

Laba-laba dengan murung kembali pada Bulan dan memberitahunya apa yang terjadi. Bulan sangat kesal pada Kelinci dan ketika dia kembali untuk memberitahu mereka bahwa ia telah menyampaikan pesan itu, Bulan memukulnya di hidung! Dan itulah mengapa Kelinci sekarang memiliki bibir yang terbelah.

"Sebaiknya kau menyampaikan pesan itu sendiri," kata Bulan pada Laba-laba.

Dan hingga hari ini, Laba-laba masih dengan hati-hati membawa pesan sang Bulan dan membuat jaring berputar di sudut-sudut kamar - tapi berapa banyak dari kita yang bisa mendengarnya?

Rubah Yang Tidak Memiliki Ekor




Suatu hari, seekor rubah berjalan-jalan saat tiba-tiba ia mendengar suara yang keras dan merasakan rasa sakit yang menusuk di bagian bokongnya.

"Ooowww!!!" lolong rubah, airmatanya berlinang. "Itu menyakitkan. Ooowww!!!"

Sang rubah menoleh ke belakang dan melihat ekornya terkena ranjau. Ia berjuang untuk membebaskan diri namun ekornya terjepit sangat kuat di gerigi ranjau itu.

Dengan usaha terakhir rubah itu menggunakan seluruh kekuatannya dan bebas!

"Ooooowww!!!!" lolong rubah saat ia menoleh kebelakang dan melihat ekornya masih terjepit di ranjau. Akhirnya yang tersisa hanya sedikit saja di bagian ekornya.

"Ekorku, ekorku yang cantik. Apa yang harus kulakukan?" rintihnya. "Bagaimana aku akan menghadapi rubah-rubah lain tanpa ekor indahku? Pasti sangat memalukan."

Sang rubah berpikir dan akhirnya memiliki sebuah rencana.

Ia memanggil semua rubah lain untuk bertemu.

Ketika mereka melihat bagian kecil di buntutnya mereka mulai tertawa.

"Aku memotong ekorku dengan sengaja dan aku ingin kalian semua melakukan yang sama." dia berteriak menembus riuh tertawa.

"Ekor yang besar hanya membuat masalah," ia berteriak. "Saat kita dikejar oleh anjing membuat kita mudah tertangkap, dan saat kita berkumpul untuk ngobrol, tidak ada yang tahu gunanya. Apakah harus dilingkarkan di kaki, mendudukinya, atau menaruhnya supaya orang tersandung?" tanya sang rubah. "Jadi sekarang saatnya untuk membebaskan diri kita dari ekor dan bergabung bersamaku dalam kelompok tanpa-ekor."

Salah satu rubah tua menggeleng dan berkata, "Kau tidak akan berkata demikian jika masih memiliki ekor yang indah. Kau hanya mengatakannya karena kau malu."

Semua rubah lain pergi sambil tertawa dan menaikkan ekor-ekor besar dan lebat mereka.

Pelajaran moral: Jangan percaya pada seseorang yang memiliki minat pribadi yang berhubungan dengan kekurangan mereka sendiri. Misalnya kelompok patah hari, dan sebagainya. Itu hanya akan membuat kita jadi sama memalukan.

Singa dan Tikus


Seekor Singa sedang tidur dengan nyenyaknya ketika dia terbangun oleh sesuatu yang berlari-lari naik-turun punggungnya dan melewati wajahnya.

Berpura-pura masih tidur, sang Singa pelan-pelan membuka matanya dan melihat bahwa itu adalah seekor tikus kecil.

Dengan kecepatan tinggi sang Singa menangkap tikus itu dengan telapaknya yang lebar. Ia mempermainkan ekornya dan mengaum, "Aku adalah Raja Hutan! Kau akan tahu akibatnya jika tidak menghormatiku."

Sang Singa memegang tikus kecil itu dan bersiap menelannya.

"Kumohon, jangan makan aku, Tuan Raja Hutan," cicit si tikus. "Jika baginda memaafkan aku kali ini dan melepaskanku, aku tidak akan pernah melupakannya. Saya mungkin bisa membalas kebaikan baginda di masa depan."

"Kau? Memberiku bantuan?" aum sang Singa sambil tertawa. "Itu hal paling lucu yang pernah kudengar."

Masih tertawa, sang Singa meletakkan sang tikus ke tanah dan berkata, "Kau membuatku tertawa maka aku tidak akan memakanmu. Pergilah, sebelum aku berubah pikiran."

Si tikus kecil berlari secepat mungkin.

Tak lama setelah itu, sang Singa tertangkap oleh sekelompok pemburu. Mereka mengikatnya di pohon sementara mereka mengambil kendaraan mereka.
Si tikus kecil berada di dekat situ dan datang ketika ia mendengar auman minta tolong sang Singa perkasa.

Tikus itu menggerogoti tali dengan gigi-gigi tajamnya dan membebaskan sang Singa.

"Aku tahu anda tidak percaya padaku waktu itu, tapi seperti kubilang bahwa aku akan menolong anda suatu hari," cicit tikus kecil itu. "Bahkan seekor tikus kecil sepertiku bisa menolong seseorang setangguh anda."

"Terimakasih teman kecilku. Aku tidak akan melupakan pelajaran itu," kata sang Singa saat ia lari sebelum para pemburu kembali.

Dongeng Dunia: Mengapa Kelelawar Tidak Memiliki Teman

Bertahun-tahun yang lalu terjadi sebuah perang besar antara burung dan hewan-hewan lain.

Tak ada yang tahu alasannya. Itu terjadi begitu saja.

Makhluk-makhluk bersayap terbang ke lokasi perang dan membangun kamp mereka. Hewan-hewan berkaki, berjalan kesana.

Kelelawar bergabung bersama burung. "Hey, aku juga punya sayap. Jadi aku pasti burung. Dan kami ada banyak, kita pasti menang!"

Pertempuran pertama berlangsung lama dan sengit, tapi cakar-caka dan gigi-gigi tajam mulai mendominasi melawan paruh dan sayap.

Kelelawar bisa melihat bahwa burung-burung akan kalah sehingga mereka bersembunyi di belakang semak. 

Saat perang usai, hewan-hewan berjalan kembali ke kamp mereka. 

"Kita menang telak!" kata Kerbau, meludahkan beberapa bulu.

"Yeah! Kita mengalahkan mereka!" teriak Kelelawar dari atas.

Para hewan berhenti. "Apa yang kau lakukan bersama kami?" teriak Berang-Berang, memukul tanah dengan keras menggunakan ekornya yang pipih dan besar. "Kau punya sayap. Kau berada di pihak lain."

"Yeah, itu benar," geram Beruang. "Dan aku akan memakanmu!"

"Teman-teman! Sadarlah!" kata Kelelawar, menunjukkan mulutnya. "Kapan kalian lihat burung memiliki gigi? Tentu saja aku salah satu dari kalian!"

"Kurasa kau benar," kata Beruang.

Hari berikutnya ada perang lanjutan dan Kelelawar berjalan ke lokasi bersama para hewan. "Ayo kalahkan mereka!" teriaknya.

Kali ini burung-burung terbang seperti prajurit dengan matahari di belakang mereka, cahaya terangnya membutakan para hewan. Cakar-cakar tajam dan sayap-sayap yang mengepak merobek tubuh-tubuh berbulu lawannya. Burung-burung menang. Sekali lagi Kelelawar sembunyi di belakang semak-semak.

Ketika semua itu usai dan para burung mulau terbang kembali ke kamp, Kelelawar diam-diam bergabung bersama mereka.

"Itu tadi kemenangan hebat," kata Elang. 
"Yeah! Kita mengalahkan mereka!" teriak Kelelawar.

"Tunggu dulu." Gagak berkata. "Kau berada di pihak lain."

"Teman-teman, sadarlah!" kata Kelelawar. "Kapan kau lihat hewan darat memiliki sayap sepertiku? Tentu saja aku salah satu dari kalian." Dia mengepakkan sayapnya dengan penuh semangat.

"Kurasa kau benar," kata Elang.

Dan begitulah seterusnya di setiap pertempuran.

Ketika Kelelawar melihat pihak yang kalah, dia berpura-pura berada di pihak lain.

Akhirnya burung-burung dan hewan-hewan darat lelah bertempur. Mereka berdamai saat pemimpin-pemimpin mereka membuat perjanjian perdamaian dan memutuskan untuk akur.

Sangat sulit bagi Kelelawar untuk berpura-pura ia berada di pihak mana. Para pemimpin tahu perbuatannya.

"Teman harusnya selalu membantu satu sama lain dan tidak berpura-pura menjadi salah satu pihak," kata mereka. "Kelelawar memiliki sayap, tapi dia bukan burung. Dia memiliki gigi, tapi dia bukan hewan darat. Maka mulai sekarang, Kelelawar hanya akan terbang ketika burung lain tidur dan para hewan darat berburu."

Semua makhluk mengangguk setuju.

"Kau akan selalu sendirian, Kelelawar. Kau tidak akan pernah memiliki teman diantara hewan-hewan yang terbang maupun yang tidak!"

Itulah mengapa Kelelawar selalu terbang di malam hari dan tidak memiliki teman.

Dongeng Dunia: Kemana Perginya Unicorn?

Dulu saat mitos dan legenda masih hidup, ada kuda-kuda yang memiliki tanduk dan sayap yang disebut unicorn.

Unicorn sangat takut pada manusia karena mereka kasar dan jahat pada hewan-hewan yang mereka tangkap. Unicorn selalu hidup sendiri di hutan-hutan.

Suatu hari ketika seorang gadis kecil bernama Elaine sedang bermain di hutan, ia bertemu seekor unicorn muda. Mereka menjadi teman yang akrab.

Elaine datang setiap hari untuk bermain dengannya. Elaine bahkan menamai unicorn itu Moiraine seperti nama ibunya. Unicorn itu mencintai Elaine dan begitu juga Elaine sangat menyayangi sang unicorn.

Elaine berjanji tidak akan memberitahu siapapun tentang teman barunya itu karena semua orang akan melarangnya bermain bersama Moiraine.

Itu membuat Elaine sedih karena tidak bisa membawa Moiraine pulang dan menunjukkannya pada teman-temannya yang lain, tapi dia tahu bahwa jika dia melakukannya Moiraine akan dibunuh oleh orang-orang kota. Setiap hari Elaine pergi untuk bermain dengan Moiraine hingga dia berusia 16 tahun.

Kemudian tiba-tiba saja dia tidak lagi menemui Moiraine. Unicorn itu menjadi sangat sedih. Elaine tidak pernah datanga hingga empat tahun kemudian.

Selama itu seseorang datang ke desa dan memakan semua domba sehingga banyak pemburu datang ke hutan untuk mencari semua unicron karena mereka mengira merekalah yang memakan semua domba.

Moiraine melarikan diri hingga ia kelelahan. Dia pun tinggal di hutan sambil berharap sahabtnya akan kembali.

Suatu hari Moiraine berjalan-jalan dan melihat Elaine bersama seorang pria tampan. Moiraine berlari kearahnya untuk mengajaknya bermain dengan penuh semangat.

Tapi Elaine berkata TIDAK! Moiraine tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Maka Elaine menjelaskan bahwa dia telah menikah dan tidak lagi memiliki waktu untuk permainan anak-anak.

Moiraine patah hatinya dan dia pergi bersembunyi selamanya.

Dongeng Dunia: Sang Naga Merah



Zaman dahulu, hewan-hewan di bumi memiliki bentuk yang berbeda dari sekarang. Ada yang lebih kurus, ada yang lebih tinggi dan ada juga yang memiliki lebih banyak kaki dari yang mereka miliki saat ini.

Badak dan Kudanil dulu sangat membosankan dan selalu memaksa hewan-hewan lain untuk memuji keindahan diri mereka.

"Bukankan aku yang paling tampan?" kata Badak, memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri. "Menurutmu apakah sisi kiriku lebih tampan dari sisi kananku?"

"Lihat tubuh langsingku," Kudanil menyahut. "Bukankan tubuhku yang paling indah yang pernah kau lihat?"

"Huuh!" Gajah meniup terompet belalainya. "Lihat dong gading-gadingku. Mereka gigi yang paling sempurna di dunia." Dia pun tersenyum lebar, memamerkan gadingnya.

Setiap hari begitu sepi dan membosankan hingga suatu hari seekor Naga merah terbang turun dari langit sambil berteriak "Dunia akan kiamat! Dunia akan kiamat!"

"Kami sudah dengar itu sebelumnya," kata Singa, dengan keluhan bosan. "Si Ayam yang mengatakan langit akan runtuh, tapi ternyata tidak ada apa-apa."

"Tapi ini sungguhan. Dunia akan segera berakhir!" teriak sang Naga.

"Darimana kau tahu?" yang lain bertanya.

"Seorang penyihir memberitahuku," jawabnya.

"Berarti itu pasti sungguhan," mereka berkata. "Apa yang harus kita lakukan?"

"Kalian bisa memanjat punggungku dan aku akan menerbangkan kalian ke dunia yang lain," kata naga merah.

Mereka semua berebut naik ke punggung si naga, kecuali Singa.

"Aku raja disini dan aku tidak akan takut pada apapun," dia mengaum. "Aku akan tetap tinggal di bumi."

"Aku juga," kata harimau, turun dari punggung naga.

"Harimau memang seberani singa."

Ketika hewan-hewan lain siap, sang naga mengepakkan sayapnya, melompat ke udara dan turun lagi.

Dengan muatan yang seberat itu di punggungnya dia harus mencoba hingga beberapa kali sebelum lepas landas.

Ketika sang naga merah terbang lebih tinggi hewan-hewan menjadi tidak nyaman, berpegangan pada punggungnya. Beberapa dari mereka menjadi takut. Mereka mulai berkelahi dan saling dorong.

"Singkirkan ekormu dari mataku," teriak yang satu.

"Perhatikan dimana cakarmu," teriak yang lainnya.

"Oh, kita akan terbang sangat tinggi," cicit seekor tikus.

"Aku butuh ruang untuk duduk sebentar," pekik sang naga merah. "Kalian bertengkar dan saling dorong membuatku sulit untuk terbang."

Hewan-hewan itu tidak memedulikan dan akhirnya sang naga merah menjadi sangat lelah sehingga dia tidak bisa mengepakkan sayapnya lagi dan mulai jatuh dari langit.

Para hewan terpeleset dari punggungnya dan jatuh kearah tanah, berteriak panik. Tak ada yang terbunuh tapi mereka semua mendarat dengan benturan yang sangat keras.

Kaki-kaki para ular jatuh dan merayap pergi diantara rumput.

Badak mendarat di wajahnya, membuat benjolan besar di hidungnya yang berubah menjadi tanduk.

Kudanil terus berguling dan memantul-mantul di sisi bukit, berubah menjadi lebih besar dan gemuk sampai ia akhirnya jatuh ke kubangan air. Dia sangat malu betapa gemuk dan bulatnya dirinya, dia tidak mau terlihat yang lain.

Gading si Gajah patah hingga tinggal dua yang tertancap ke tanah. Ketika dia mencoba untuk menarik mereka keluar dari tanah mereka memanjang menjadi dua gading yang bisa kita lihat sekarang.

Kepala Jerapah tersangkut di pohon yang tinggi dan lehernya memanjang dan terus memanjang hingga tubuhnya mencapai tanah.

Bahkan semua hewan berubah menjadi seperti bagaimana mereka terlihat saat ini.

"Aku tidak melihat ada yang lucu," geram buaya, yang wajahnya menjadi rata tertimpa gorila.

Si Badak sangat marah karena kehilangan penampilan indahnya. Karena itulah kamu harus hati-hati jika berada di dekat mereka.

Mukulin Rumah Pake Roti? Inilah 6 Tradisi & Kepercayaan Unik Seputar Tahun Baru

 Ada banyak tradisi dan kepercayaan seputar tahun baru dari berbagai negara dan budaya. Kalau di daerah atau keluarga kamu tradisinya sepert...