Oala Magz - Ilmuwan mengatakan bahwa ganja dapat membantu meringankan gejala-gejala gangguan stres pasca-traumatik, selama dilakukan sedini mungkin.
Peneliti dari Haifa University, di Israel, menemukanbahwa cannabinoid, komposisi aktif dalam ganja mampu menghalau perasaan kegelisahan pada tikus percobaan setelah tikus-tikus itu mengalami episode yang sangat membuat stres.
Namun, ini hanya efektif jika dilakukan dalam 24 jam awal setelah kejadian traumatiknya.
"Kamimenemukan bahwa ada sebuah 'jendela kesempatan' saat menerapkan marijuana sintetis membantu menghadapi gejala-gejala PTSD (Post-Traumatic stress DIsorder) pada tikus," ujar pemimpin studi, Dr. Irit Akirav.
Tikus digunakan dalam percobaan ini sebab mereka memiliki reaksi fisiologikal terhadap kejadian traumatik dan membuat stres seperti manusia.
Ganja adalah obat Kelas B di Inggris dan ilegal untuk digunakan atau dijual. Penggunaan regulernya dihubungkan dengan meningkatnya resiko perkembangan penyakit psikotik seperti schizofrenia.
Namun, ada sejumlah obat cannabinoid yang diperoleh dari tanaman ganja yang telah dilisensi oleh Agensi Peraturan produk Obat dan Perawatan-kesehatan di Inggris.
Pada bagian pertama studinya, yang diterbitkan dalam jurnal Neuropsychophramacology, para peneliti menyorot sekelompok tikus dalam kondisi yang membuat mereka stres.
Mereka mengamati bahwa tikus-tikus itu menunjukkan gejala-gejala PTSD seperti pada manusia, seperti meningkatkan reflek kejut dan proses belajar yang lemah. Tikus-tikus itu kemudian dibagi dalam empat kelompok. Satu kelompok sama sekali tidak diberikan ganja; yang kedua diberikan suntikan ganja dua jam setelah diekspos kepada kejadian traumatik; yang ketika diberikan setelah 24 jam dan yang keempat diberikan setelah 28 jam.
Seminggu kemudian, peneliti menguji tikus-tikus itu dan menemukan bahwa kelompok yang tidak diberikan marijuana/ganja dan kelompok yang diberi suntikan 48 jam setelah mengalami trauma tetap menunjukkan gejala-gejala PTSD dan juga tingginya level kegelisahan atau anxietas.
Sebaliknya, gejala-gejala PTSD tidak tampak pada tikus-tikus yang diberikan ganja dua dan 24 jam setelah mengalami trauma, meskipun tikus-tikus ini juga mengembangkan level tinggi anxietas.
"Ini mengindikasikan bahwa marijuana tidak menghapus pengalaman traumatik, tapi secara spesifik mencegah perkembangan gejala-gejala pasca-traumatik pada tikus percobaan," ujar Dr. Akirav.
Ia menambahkan bahwa karena jangka hidup manusia secara signifikan lebih lama daripada tikus, seseorang dapat berasumsi bahwa keefektifan obat itu akan lebih lama berlaku pada manusia.
Tahap kedua studi tersebut adalah mencoba memahami mekanisme obat yang bekerja dalam operasi selama pemberian ganja. Untuk melakukan ini, mereka mengulangi tahap awal dari eksperimen tersebut, tapi setelah trauma mereka menyuntikkan cannabinoid sintetik kedalam area amygdala pada otak, are yang dikenal bertanggungjawab merespon trauma.
Para peneliti menemukan bahwa ganja mencegah perkembangan gejala-gejala PTSD dalam kasus-kasus ini juga. Dari sini mereka dapat menyimpulkan bahwa efek dari ganja dimediasi oleh sebuah reseptor CB1 dalam amygdala otak.
Peneliti dari Haifa University, di Israel, menemukanbahwa cannabinoid, komposisi aktif dalam ganja mampu menghalau perasaan kegelisahan pada tikus percobaan setelah tikus-tikus itu mengalami episode yang sangat membuat stres.
Namun, ini hanya efektif jika dilakukan dalam 24 jam awal setelah kejadian traumatiknya.
"Kamimenemukan bahwa ada sebuah 'jendela kesempatan' saat menerapkan marijuana sintetis membantu menghadapi gejala-gejala PTSD (Post-Traumatic stress DIsorder) pada tikus," ujar pemimpin studi, Dr. Irit Akirav.
Tikus digunakan dalam percobaan ini sebab mereka memiliki reaksi fisiologikal terhadap kejadian traumatik dan membuat stres seperti manusia.
Ganja adalah obat Kelas B di Inggris dan ilegal untuk digunakan atau dijual. Penggunaan regulernya dihubungkan dengan meningkatnya resiko perkembangan penyakit psikotik seperti schizofrenia.
Namun, ada sejumlah obat cannabinoid yang diperoleh dari tanaman ganja yang telah dilisensi oleh Agensi Peraturan produk Obat dan Perawatan-kesehatan di Inggris.
Pada bagian pertama studinya, yang diterbitkan dalam jurnal Neuropsychophramacology, para peneliti menyorot sekelompok tikus dalam kondisi yang membuat mereka stres.
Mereka mengamati bahwa tikus-tikus itu menunjukkan gejala-gejala PTSD seperti pada manusia, seperti meningkatkan reflek kejut dan proses belajar yang lemah. Tikus-tikus itu kemudian dibagi dalam empat kelompok. Satu kelompok sama sekali tidak diberikan ganja; yang kedua diberikan suntikan ganja dua jam setelah diekspos kepada kejadian traumatik; yang ketika diberikan setelah 24 jam dan yang keempat diberikan setelah 28 jam.
Seminggu kemudian, peneliti menguji tikus-tikus itu dan menemukan bahwa kelompok yang tidak diberikan marijuana/ganja dan kelompok yang diberi suntikan 48 jam setelah mengalami trauma tetap menunjukkan gejala-gejala PTSD dan juga tingginya level kegelisahan atau anxietas.
Sebaliknya, gejala-gejala PTSD tidak tampak pada tikus-tikus yang diberikan ganja dua dan 24 jam setelah mengalami trauma, meskipun tikus-tikus ini juga mengembangkan level tinggi anxietas.
"Ini mengindikasikan bahwa marijuana tidak menghapus pengalaman traumatik, tapi secara spesifik mencegah perkembangan gejala-gejala pasca-traumatik pada tikus percobaan," ujar Dr. Akirav.
Ia menambahkan bahwa karena jangka hidup manusia secara signifikan lebih lama daripada tikus, seseorang dapat berasumsi bahwa keefektifan obat itu akan lebih lama berlaku pada manusia.
Tahap kedua studi tersebut adalah mencoba memahami mekanisme obat yang bekerja dalam operasi selama pemberian ganja. Untuk melakukan ini, mereka mengulangi tahap awal dari eksperimen tersebut, tapi setelah trauma mereka menyuntikkan cannabinoid sintetik kedalam area amygdala pada otak, are yang dikenal bertanggungjawab merespon trauma.
Para peneliti menemukan bahwa ganja mencegah perkembangan gejala-gejala PTSD dalam kasus-kasus ini juga. Dari sini mereka dapat menyimpulkan bahwa efek dari ganja dimediasi oleh sebuah reseptor CB1 dalam amygdala otak.