Ananse merupakan salah satu tetua di desa itu, dan suatu hari dia memanggil semua teman dan saudaranya untuk mendiskusikan bagaimana mereka semua bisa lebih saling menolong satu sama lain. Karena mereka semua petani, mereka memutuskan untuk membajak, menyiangi, memanen, apapun yang dibutuhkan dikerjakan di ladang atau di sekitar rumah. Misalnya, mereka mulai di ladang pamannya Ananse pada hari Senin, di hari Selasa giliran kakeknya dan pada hari Rabu giliran keponakannya. Ananse bergabung dalam program ini dan dia melihat bahwa semua orang bergabung dan membantu. Setelah sekitar sebulan, dia duduk di depan rumahnya, dan mulai berpikir.
"Kau tahu," katanya pada diri sendiri, "menurutku aku bisa melihat sebuah cara yang bisa menguntungkan dari kegiatan ini. Aku bisa berpura-pura sakit parah, supaya aku tidak usah menolong yang lain, dan saat aku sembuh, semua pekerjaan di ladangku sudah dikerjakan!"
Maka di pagi hari berikutnya, Ananse tidak bangun dari tempat tidurnya, dan saat keponakannya datang untuk memanggilnya, Ananse mengatakan padanya, "Oooh, keponakanku tersayang, badanku ini sangat sakit hari ini, sepertinya aku tidak bisa bergabung bekerja hari ini." Keponakannya memberitahu yang lain bahwa pamannya sedang sakit. Mereka pun maklum, dan memutuskan di hari berikutnya, mereka akan membantu mengerjakan ladang Ananse. Ini berlangsung selama beberapa minggu, dan kondisi Ananse tidak juga keihatan membaik.
Satu atau dua orang mulai bergunjing, "Memang baik kita membantu mengerjakan ladang Ananse, tapi kapan dia akan membantu kita?" Ananse mendengar komplain tersebut, dan menyadari bahwa dia tidak akan bisa berpura-pura lebih lama lagi. Dia memutuskan dia akan melakukan sesuatu untuk membuat semua orang percaya bahwa dia benar-benar sakit. Keesokan harinya dia memanggil beberapa keluarga untuk berkumpul dan mengatakan pada mereka, "Penyakitku ini berlangsung lama, dan kelihatannya tidak membaik. Malah aku merasa lebih buruk hari ini. Aku sungguh berpikir aku akan segera mati." Beberapa saudaranya memprotes, "Tidak, tidak, paman, kau tidak akan mati!" "Tidak, saudaraku, aku akan memanggil tukang obat dan memberikanmu beberapa rempah-rempah."
Tapi Ananse mengatakan pada mereka bahwa dia semakin melemah seiring waktu, dan mulai mengatur pemakamannya sendiri. "Saat aku mati, katanya, kalian harus menguburkanku di ladang saudaraku Kwami. Aku sangat menyenangi ubi dari ladangnya, dan aku akan senang dikuburkan di dekatnya." Kwami setuju bahwa saudaranya bisa menguburkannya disana; lagipula sangat sulit untuk menolak keinginan orang sekarat. Ananse melanjutkan memberi instruksi: mereka harus menggali sebuah lubang yang besar, dan menutupi dinding-dindingnya dengan kain, supaya arwahnya merasa nyaman. Mereka harus meletakkan kuali dan penggorengan didalam kuburannya, supaya arwahnya bisa memasak makanan sendiri. Keluarga Ananse mulai mengerjakan penggalian kuburan, sementara Ananse berpura-pura bahwa kondisinya memburuk sepanjang waktu.
Segera dia tahu bahwa kuburannya sudah selesai, maka saat dia melihat seseorang masuk ke rumahnya, dia tinggal berpura-pura mati. Mereka mencoba membangunkannya, tapi Ananse tidak bangun, maka mereka memutuskan bahwa dia memang sudah mati. Keesokan harinya mereka membawa tubuhnya dan membaringkannya di kuburannya, yang sudah disiapkan sebagaimana telah diinstruksikan Ananse. Di malam yang sama, Ananse memanjat keluar dari makamnya dan mulai mengumpulkan ubi dari ladang itu. Dia memasaknya. Dia membuat fufu (dikeringkan menggunakan panas) dengan sebagian dari ubi-ubi itu. Saat siang hari muncul, Ananse bersembunyi di makamnya dan tidur. Malam berikutnya dia mengumpulkan ubi lagi, dan makan lagi. Ini berlangsung selama sebulan. Akhirnya Kwani memerhatikan bahwa seseorang pasti mencuri ubi-ubinya. Dia berpikir keras, siapa yang melakukan ini? Biasanya dia mencurigai Ananse, karena dia tahu kelicikan saudaranya, tapi dia sudah mati, dan tidak bisa memikirkan orang lain yang mungkin melakukannya.
Kwami memutuskan membuat jebakan. Dia menemui tukang kayu, dan mendapatkan beberapa tiang kayu yang kuat, yang ia bawa kembali ke ladangnya, dimana dia melumuri ter di sekujur tiang-tiang itu, dan menempatkannya secara strategis di sekitar ladangnya, seperti orang-orangan sawah. Dia yakin bahwa pencurinya, siapapun itu, pasti akan menyentuh salah satu tiang itu, dan terkena ter, sehingga meninggalkan jejak yang bisa dikenali.
Malam itu saat Ananse keluar dari makamnya untuk mengambil ubi, dia melihat sebuah sosok di tengah-tengah ladang. "O-ow," pikirnya, "seseorang mengawasiku!" Tapi dia melihat sosok itu berdiri saja disana, tak bergerak sama sekali. Rasa ingin tahunya semakin besar, dan pelan-pelan mendekatinya. Karena tiang itu tidak begitu tinggi, Ananse menduga itu pasti seorang anak kecil. Dia memutuskan untuk mengerjai anak itu. Dia mengendap-endap dan berkata padanya, "Aku baru melihat ibumu mencari-carimu. Dia bilang kau harus pulang untuk makan malam." Tapi tentu saja orang-orangan sawah itu tidak bereaksi.
Ananse mengulangi, "Ibumu mencari-carimu! Makan malammu sudah menunggu!" Tapi tetap tidak ada reaksi. Ananse merasa kesal. "Hey, Nak, aku sedang bicara padamu! Kenapa kau tidak menjawabku?" Tidak ada jawaban, dan Ananse semakin kesal. "Kau mau aku pukul? Baiklah, aku pukul kau, dan kita lihat apa yang akan terjadi."Ananse memukul tiang itu, dan tangannya langsung melekat di ter. Dia menarik, tapi tidak bisa lepas. "Lepaskan aku, anak bandel!" teriaknya. "Lepaskan tanganku!" Dia berteriak pada tiang kayu itu. "Lepaskan aku atau aku pukul lagi kau!" dan dia memukulnya lagi dengan tangannya yang lain. Dan segera saja tangan itu juga menempel di ter. Ananse kaget dan marah.
"Aku akan menendangmu, jika kau tidak melepaskanku!" Dia menendang tiang itu dengan kaki kirinya, dan menempel. Dia menendang lagi dengan kaki kanannya, dan menempel juga. Ananse benar-benar menempel di tiang itu tanpa bisa berkutik. Dia menarik sekuat tenaga, tapi tidak ada hasil. Akhirnya dia kelelahan dan menyerah, dan menangis sampai ketiduran.
Saat matahari terbit, Kwami datang ke ladangnya, ingin tahu apakah jebakannya berhasil. Dia melihat sekeliling dengan hati-hati dan melihat tak ada lagi ubinya yang dicuri, maka sebagian dari rencananya berhasil. Sambil tersenyum senang, dia berkeliling untuk memeriksa orang-orangan sawah ber-ter, dan dia melihat sesosok laba-laba menempel pada salah satunya. Saat dia memburu mendekat dia mengenali saudaranya, Ananse.
Kwami berteriak, "Ananse! Ananse! Apa yang kau lakukan disini, kau 'kan seharusnya mati!"
Dengan tenang, Ananse menjawab, "Ananse memang sudah mati, aku adalah hantunya!"
Kwami sangat polos dan percaya takhayul, jadi saat dia mendengar itu, dia benar-benar percaya itu adalah hantu saudaranya. Dia menjadi sangat takut dan lari! Dia lari ke desa, meneriakai semua orang yang dia temui, "Hantu Ananse! Aku baru saja melihat hantu Ananse!" Orang-orang berkumpul mendekatinya, ingin tahu lebih jauh. Kwami memberitahu mereka dia melihat hantu Ananse, terjebak di orang-orangan sawah yang ia letakkan di ladangnya. Tentu saja para penduduk desa ingin melihat ini, maka mereka semua berlari ke ladang Kwami. Disana mereka melihat sendiri sosok Ananse masih melekat di tiang.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya mereka. "Kau seharusnya sudah mati. Kami menguburkanmu tak berapa lama!"
"Aku hantu!" lolong Ananse, yang menjadi sangat tidak nyaman. Para penduduk desa menjadi takut, dan mereka sudah bersiap akan lari, saat Ananse berteriak, "Berhenti, berhenti! Kenapa kalian lari? Aku keluarga kalian, bukan? Tidak perlu takut! Dan ngomong-ngomong, aku butuh bantuan! Aku butuh bantuan!"
Salah satu pria yang berani mendekat, dan bertanya, "Bantuan apa yang kau butuhkan, saudara Ananse?"
Ananse menjawab, "Aku terjebak di tiang ber-ter ini, tak bisakah kau melihat? Aku butuh bantuanmu menarikku lepas!"
Beberapa dari mereka pun mulai menariknya. Ananse memberi instruksi, "Tarik disini, sedikit lebih ke sisi ini, sedikit lebih kuat di sini!"
Tapi salah satu penduduk desa yang sudah menarik kaki Ananse, mundur dan menggaruk kepalanya. "Tunggu sebentar," katanya. "Ini bukan hantu! Ini Ananse asli. Dia tidak mati sama sekali!" Mereka semua berhenti menariknya. "Ya," kata yang lain, "bagaimana bisa hantu menyuruh-nyuruh kita menariknya disini, menariknya disana?" Mereka mulai memukulinya dengan kayu, melemparinya dengan lumpur dan menghujaninya dengan cacian. Sebentar kemudian Kwami merasa kasihan pada saudaranya, dan menyuruh mereka untuk berhenti. Mereka menariknya hingga lepas, dan menyuruhnya untuk meninggalkan desa, dan tidak pernah muncul lagi. Setelah Ananse diusir semua keluarganya begitu malu sehingga mereka memutuskan untuk meninggalkan desa juga, dan hingga hari ini, setiap kalian melihat laba-laba dia selalu mencoba menyembunyikan sesuatu dengan jaringnya, didalam retakan di lantai atau sudut gelap, karena dia malu pada nenek moyang mereka Ananse.
Ilustrasi oleh Emma Carter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis Komentar